Buku inspirasiku: Aku Terlahir 500 gr dan Buta

Judul Terjemahan : Aku Terlahir 500 gr dan Buta
Penulis : Miyuki Inoue
Penerjemah : Tiwuk Ikhtiari
Cetakan : Kelima, Mei 2007
Tebal : xiv+183

Suatu hari saya naik angkot menuju mes karyawan, tempat saya tinggal. Kebetulan saat itu angkot penuh sesak penumpang. Satu per satu penumpang turun di tujuannya masing-masing. Tinggal saya dan seorang penumpang di pojok yang tersisa, seorang ibu. Ups…saya tercengang. Ternyata penumpang selain saya itu, seorang buta. Saya mendengar dia bicara pada sopir, ”Bang, saya turun di Gang Delima.”

Pikiran saya menjadi melayang. Apa dia tahu kalau sopir itu benar-benar menurunkan dia di tempat tujuannya? Apa dia tahu arah menuju rumahnya? Yang lebih mengherankan saya, dia pergi sendirian saja, kok dia bisa naik angkot ini? Semua pertanyaan itu mengelilingi saya.

Tak bisa kita bayangkan betapa sulitnya hidup tanpa mata. Belum tentu kita mampu bertahan dalam kondisi seperti ibu buta yang saya lihat. Anda ingin mengetahui kisah seorang buta yang patut berbangga meski buta? Anda akan mengetahuinya dengan membaca novel kisah nyata (true story) yang ditulis Miyuki Inoeu. Aku Terlahir 500 gr dan buta, itulah judul novel yang ditulis oleh Miyuki.

Novel ini sungguh luar biasa, bagaimana tidak disebut luar biasa, Miyuki membuat novel kehidupan dirinya sendiri, mulai dari kisah kelahirannya yang menguras air mata sang ibu sampai menjadi kebanggaan karena memenangkan perlombaan mengarang tingkat nasional Jepang ketika duduk di SMP.

Dalam keadaan normal, seorang bayi harus berada di dalam kandungan selama 40 minggu, sedangkan Miyuki berada dalam kandungan ibunya hanya 20 minggu. Oleh karena itu, Miyuki harus berada dalam tabung inkubator selama 4 bulan setelah lahir ke dunia. Selama empat bulan itu tak sekali pun Miyuki kecil merasakan pelukan sang ibu.
Miyuki lahir dengan berat setengah kilogram, seperenam dari berat bayi umumnya. Saking kecilnya hingga Miyuki bisa digenggam. Kepala Miyuki sebesar telur dan jari-jari sekurus tusuk gigi. Keadaan itu membuat Miyuki kecil harus masuk dalam tabung inkubator.
**
Masa-masa sulit Miyuki selama dalam tabung inkubator menguras air mata ibunya. Ibu Miyuki dengan tegar memberi semangat pada Miyuki kecil. Sejak kelahirannya, dokter yang merawat Miyuki menvonis usia Miyuki tidak lebih dari 2 minggu. Tapi dokter bukan Tuhan. Meski sudah divonis tak akan bertahan hidup, Miyuki berhasil melewatinya, sampai akhirnya berada dalam dekapan ibu 4 bulan kemudian setelah dikeluarkan dari tabung inkubator.

Berada dalam tabung inkubator terlalu lama memiliki risiko gangguan kesehatan pada mata bayi. Risiko itu juga harus ditanggung Miyuki kecil. Miyuki kecil tidak sempat melihat dunia tempat dia berada. Miyuki mengalami kebutaan. Tabung inkubator dialiri banyak oksigen. Jika bayi terlalu lama berada dalam tabung inkubator, bayi itu bisa terkena ROP (Retinopathy of Prematurity), yaitu penyakit yang bisa membutakan bayi prematur kalau menghirup terlalu banyak oksigen.

Perjuangan hidup Miyuki semakin berat. Lahir prematur saja sudah membuatnya berbeda dari anak-anak seusianya. Ditambah dengan kebutaannya, Miyuki semakin harus bekerja keras dalam hidupnya.
Yang sangat bermakna dari novel ini adalah lika-liku perjuangan hidup Miyuki sejak dia lahir hingga menginjak remaja. Bukan hanya perjuangan untuk mendobrak kebutaannya, tetapi juga harus terus berjuang dalam kekerasan-kekerasan yang dilakukan ibunya. Bukan kekerasan fisik, melainkan lebih pada kekerasan psikis.
Ibu Miyuki sangat keras dalam mendidik Miyuki. Ibu kebanyakan akan menjaga dengan hati-hati anaknya yang buta, tetapi tidak untuk Ibu Miyuki. Ibu Miyuki akan membiarkan Miyuki merasa sakit karena terjatuh, merasakan benturan keras di kepala, dan masih banyak yang lain. Itulah cara Ibu Miyuki mendidik Miyuki menjadi manusia yang tegar dan mandiri.

Ibu Miyuki ingin anaknya tidak rendah diri meski menjadi seorang yang buta. Pernah suatu kali Miyuki terjatuh dari tangga. Ibu Miyuki bukannya menanyakan keadaan anaknya, tetapi menyalahkan anaknya, ”Salah sendiri.” Hanya itu ucapan ibu lalu pergi meninggalkanku sambil menggumam, ”Berapa kali harus jatuh sampai kamu puas, hah? Kalau kamu jatuh terus, nanti lantainya rusak.” (halaman 43).

Di satu sisi Ibu Miyuki menginginkan anaknya tegar dan mandiri. Di sisi lain dalam diri Miyuki merasa tersiksa karena perlakuan ibunya. Miyuki merasa kesal terhadap perlakuan ibu, tetapi Miyuki tidak bisa jauh dari ibunya. Miyuki sangat memerlukan ibunya.

Lembar demi lembar dalam novel ini dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan yang timbul dalam diri Miyuki tentang perlakuan-perlakuan kasar ibunya hingga Miyuki menemukan sebuah kesadaran akan kehebatan ibunya ketika membesarkannya. Miyuki dengan jujur mengutarakan perasaannya, baik itu perasaan senang ketika dekat ibu, sedih saat jauh dari ibu, maupun sakit hati pada perlakuan ibunya.

Suatu hari Miyuki ingin merasakan naik sepeda. Ibu Miyuki menyanggupi untuk mengajak Miyuki belajar naik sepeda di lapangan. Ibunya memberi tahu cara naik sepeda.
Miyuki berpikir ingin duduk di belakang saja dan ibunya menolak. Tadinya aku ingin duduk di belakang saja, di boncengan dan ibunya menuntun sepedanya. ”Kalau kamu minta duduk di belakang, kamu tidak bisa naik sepeda selamanya. Kamu harus percaya kalau kamu bisa naik sepeda. Ayo, coba lagi!” (halaman xi).

Setelah diberi tahu ibunya cara naik sepeda, Miyuki harus menaiki sepeda sendiri. Ibu Miyuki hanya duduk di kursi panjang sambil meneriaki Miyuki untuk bangun lagi saat terjatuh. Miyuki sangat kesal karena ibunya tidak menolong sekali pun. Padahal lutut dan tangan Miyuki sudah berdarah-darah dan terasa perih. Sampai empat puluh kali jatuh dari sepeda, akhirnya Miyuki bisa naik sepeda. Rasa sakit yang dialaminya dan kejengkelan pada ibunya tak lagi dirasakannya setelah berhasil naik sepeda dan merasakan embusan angin. Tentunya Miyuki hanya bisa naik sepeda di lapangan. Jika di jalan raya, itu akan membahayakan dirinya. Miyuki tahu bahwa ibunya menangis saat melihatnya belajar sepeda ketika dia menulis cerita tentang dia dan ibunya.
**

Kebutaan tak menghentikan Miyuki untuk merasakan hal-hal yang dialami anak-anak sebayanya. Itulah yang ditanamkan sejak dini oleh Ibu Miyuki. Apa pun yang diinginkan Miyuki selalu didapatkan, tetapi tentunya dengan usaha yang keras. Ibu Miyuki tidak membiasakan Miyuki untuk mendapatkan hal-hal yang instan.
Perjuangan Miyuki dan ibunya membuahkan hasil yang luar biasa. Miyuki berhasil memenangkan lomba mengarang SLB tingkat nasional Jepang. Dalam karangan-karangannya Miyuki menceritakan kisah dirinya, ibu yang selalu keras padanya, tangis dan tawa bersama ibu, dan cerita-cerita mengharukan yang didengar dari ibunya. Melalui karangan-karangan ini pula Miyuki menjadi sadar, bahwa berkat ibunya, Miyuki bisa menjalani kebutaannya. Kecintaan Miyuki pada dunia tulis-menulis ini akhirnya membuahkan novel ini.

Ketika Anda membaca novel ini Anda akan merasa seolah-oleh Miyuki bercerita pada Anda. Tutur bahasa yang sederhana membuat novel ini mudah dipahami. Hal ini tentunya juga didukung oleh sang penerjemah, Tiwuk Ikhtiari.

Novel ini baik dan layak dibaca oleh semua orang, terutama diperdengarkan pada sesama kita yang tidak diberikan mata normal. Pertama, dengan membaca novel ini wawasan Anda tentang ”kebutaan” akan menjadi lebih positif. Memang, ”kebutaan” itu membuat pemiliknya harus berusaha lebih keras dalam mendapatkan sesuatu. Miyuki, satu di antara jutaan orang yang buta, berhasil mendobrak kebutaannya dengan bantuan penuh ibunya.

Oleh karena itu, jangan menjadi lemah karena putri, putra, kakak, adik, atau orang tua Anda yang buta. Akan tetapi, doronglah dia menjadi positif dalam memandang hidup. Ingatlah perjuangan Ibu Miyuki dalam mendidik Miyuki. Dalam didikan ibunya, Miyuki menjadi seorang yang mandiri dan bangga pada dirinya.

Kedua, dalam beberapa hal, bisa jadi Anda, saya, dan Miyuki mempunyai kesamaan. Mendapat perlakuan keras dari orang tua, guru, dan lingkungan sekitar. Akan tetapi, yakinlah bahwa sebagaimana Miyuki alami, buah-buah rohani akan dirasakan dengan nikmat bila kita sampai pada kesadaran tertentu. Lebih penting lagi, sikap pantang menyerah Miyuki dan kesetiaan sang ibu membesarkan anaknya bisa menjadi inspirasi dan motivasi kita untuk terus berjuang, memperjuangkan apa yang kita inginkan.

(Paskalina Oktavianawati, S.S.)

Catatan: Resensi ini dimuat di Pikiran Rakyat, 20/08/2007

Visited 78 times, 1 visit(s) today

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *