Suatu pagi menjelang siang, para Bapak tetangga berkumpul karena ajakan salah satu Bapak tetangga mendengar keributan dari sebuah rumah keluarga muda. Mereka betkumpul di depan rumah, sebelah rumah keluarga muda itu.
Terdengar sang wanita berteriak-teriak penuh amarah. Para Bapak tetangga hanya berkumpul saja di depan rumah, tidak bertindak apa-apa. Mungkin kalau dalam keributan itu terdengar “piring terbang” para bapak tetangga akan bertindak dan tidak membiarkan keributan itu.

Akhirnya keributan dari rumah keluarga muda itu terhenti, tidak ada yang perlu dikhawatirkan, semoga. Kemudian para Bapak membubarkan diri, termasuk Pak Suami.
Saya tidak bermaksud membahas tentang keributan dalam keluarga. Yang ingin saya bahas adalah semua orang siapa pun itu punya amarah, rasa marah, sekaligus juga punya rasa sabar. Amarah itu bisa ditahan hingga tidak menjadi meledak dengan rasa sabar. Tapi kemampuan seseorang dalam mengelola amarah itu berbeda-beda.
Amarah yang tidak terkelola akhirnya meledak, seperti yang terjadi pada keluarga tetangga. Pertengkaran dalam keluarga adalah hal biasa, tapi akan lebih baik jika tidak sampai terdengar oleh tetangga.

Saya juga punya amarah dan rasa marah. Tetapi saya mencoba menghalau dan meredakannya. Caranya? MENULIS.
Ya, dengan menulis saya bisa meredakan amarah. Semua rasa dan amarah saya tumpahkan dalam tulisan. Isi tulisan bisa caci maki pada seseorang yang membuat kita marah, bisa juga berisi harapan dan keinginan yang tak terwujud.
Menulis menjadi sebuah kesenangan yang bisa melegakan hati sehingga bisa menurunkan kadar amarah. Amarah itu tidak akan hilang, hanya melesap dalam tulisan.