Menjadi seorang ibu penulis itu sungguh luar biasa. Apalagi masih dihadapkan pada berbagai kemalangan hidup, misalnya harus menjadi single mom atau harus menghadapi penyakit. Tapi meskipun dihadapkan pada berbagai kemalangan, ibu penulis tetaplah seorang ibu. Dia tetap memprioritaskan anak dan keluarganya, setelah itu melakoni dunianya sebagai penulis.
Kebutuhan untuk menulis setelah menjadi rasa nyeri yang amat nyata seperti kebutuhan untuk disentuh oleh orang yang kita cintai.
Buku Chicken Soup for the Soul Ibu Hebat 101 Kisah tentang Para Ibu yang Bekerja dari Rumah adalah sebuah buku yang merangkum kisah para ibu hebat yang bekerja dari rumah dengan berbagai profesi dan latar belakang keadaan yang menuliskan kisahnya yang luar biasa. Salah satu profesi itu adalah ibu penulis.
Dari kebanyakan kisah ibu penulis, mereka memutuskan untuk bekerja dari rumah dan keluar dari zona nyaman pekerjaannya. Keputusan yang mereka ambil tentunya tidak tanpa risiko. Ada banyak tantangan yang dihadapi oleh para ibu ini.
Karena saya seorang ibu penulis juga, saya ingin membagikan kutipan beberapa kisah ibu penulis dari buku Chicken Soup for the Soul Ibu Hebat 101 Kisah tentang Para Ibu yang Bekerja dari Rumah ini. Semoga kutipan-kutipan ini membawa semangat untuk mereka yang memutuskan menjadi ibu di rumah dan ibu penulis.
(1)
Aku mencoba menulis setiap hari. Dimulai dari satu kata, satu saat tenang ketika anak-anakku yang kecil tidur siang atau istirahat, sementara anak-anak lainnya menjaga mereka atau ketika mereka semua sedang sibuk. Jika aku mencoba menulis saat seorang balita duduk di pangkuanku, dialah yang menulis bukan aku. (Hlm. 178)
(2)
Aku menatap komputer, seharusnya memikirkan plot dan penokohan novel baruku. Kudapati bahwa aku malah mempertimbangkan apakah besok akan menjadi hari Kyle mengucapkan kata pertamanya dengan lantang, atau waktunya Sammy bisa duduk sendiri. Aku mencoba menggiring kembali pikiranku ke hal yang sedang kutangani sekarang. Namun aku mendapati diriku kembali memikirkan anak-anakku, karakter yang telah menguasai kisah hidupku sendiri dan memberinya kejutan-kejutan yang jauh lebih asing dan lebih manis dari kisah fiksi manapun. (Hlm. 216)
(3)
Menurut anak-anakku, ibu-ibu penulis seringkali kaku, selalu merebutkan catatan membaca, dan tata bahasa, dan bagaimana bercerita dengan memakai bagian pembukaan, bagian isi, dan bagian akhir. Ibu yang penulis seringkali memberi saran yang buruk, misalnya klub buku ibu /anak. Atau pelatihan menulis. (Hlm. 221)
(4)
Sepertinya buku-buku itu bisa tahu bahwa aku utamanya adalah seorang ibu dan tidak menjalani hidup seperti yang kubayangkan ketika aku menyelesaikan gelar doktorku. Kuletakkan kembali buku itu di atas rak, jemariku tetap berada di atas huruf-huruf timbul pada punggung buku itu. Aku pulang ke rumah untuk mengantarkan anakku tidur siang, mencoba menulis di antara jeda waktu tidurnya.
Kebutuhan untuk menulis setelah menjadi rasa nyeri yang amat nyata seperti kebutuhan untuk disentuh oleh orang yang kita cintai. Setelah Sarah lahir dan aku meninggalkan pekerjaanku yang sebenarnya sebagai seorang profesor, tadinya kupikir aku akan kehilangan arah, tidak tahu siapa diriku atau apa yang akan kulakukan. Bagaimana jika aku bukan Dr. Hudock? Daripada aku terus berpikir seperti itu, aku mengisi lembar demi lembar jurnalku, terkadang aku menulis diterangi cahaya redup lampu tidur kami, dengan putriku yang tidur di sampingku. Ketika bayi perempuanku tertidur di mobil sama aku berkendara ke Berkeley Marina atau Point Isabel dan memarkir kendaraanku di dekat perairan sehingga aku dapat memandang ke teluk sambil menulis habis-habisan hingga saatnya bayiku bangun. Aku menulis dengan semua hasrat akan kata-kata yang telah kurasakan sejak aku masih kanak-kanak dengan ketidaktahuan yang sama seperti yang orang yang baru mengenal bahasa titik aku yang kekanak-kanakan mulai berubah, dan tumbuh dewasa. (Hlm. 227-228)
(5)
Aku bekerja karena hal itu membantuku menjadi manusia seutuhnya sebisaku, dan sejujurnya, karena bekerja membuatku menjadi Ibu yang lebih baik. Karena aku menjadi ibu yang lebih baik bila aku memiliki waktu untuk diriku sendiri. Aku menjadi ibu yang lebih baik bila aku terangsang secara emosional, mental, dan spiritual. Aku menjadi ibu yang lebih baik bila aku memiliki waktu istirahat untuk mengingat siapakah diriku sebelum makhluk-makhluk kecil ini mengambil alih hidupku.
…
Aku selalu selesai di waktu makan siang, dan selain perjalanan aneh ke perpustakaan ini aku selalu ada di rumah ketika anak-anak turun dari bus dan menjadi “Mom” selama sisa hari yang ada. Inilah keseimbangan sempurna dan aku suka sekali bahwa aku diartikan lebih dari sekadar ibu. Menjadi ibu adalah sebuah anugerah dan kebahagiaan, tetapi diriku bukan hanya itu saja. Aku adalah istri, teman, penulis, penulis blog, seniman, koki, tukang kebun, dokter anak amatir dengan spesialisasi keluhan kulit, dan seorang penasihat. (Hlm. 256-257)
(6)
Aku tidak melepaskan satupun impianku. Dua minggu setelah putraku David lahir, bukuku terbit. Aku merasa seperti melahirkan dua anak pada tahun itu titik-titik sukacita dan kepuasan yang kurasa tak dapat terlukiskan oleh kata-kata.
Aku memilih memberi ASI pada semua anakku, yang berarti aku sering bangun malam hari dan tidak banyak tenaga untuk berpikir atau bekerja. Namun, aku harus kembali bekerja klienku menunggu dan bukuku perlu perhatian. (Hlm. 274)
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.