Adu Layangan
Ditulis oleh Yudadi BM Tri Nugraheny
“Pakai ini dulu.” Agus menyodorkan plester pada Joko. Joko segera memasangnya di jari telunjuk kanan. Di lapangan sudah banyak orang bermain layangan. Tidak hanya anak seusia mereka, tetapi ada juga orang dewasa. Di langit bertebaran berbagai macam layang-layang. Baik jenis, ukuran, warna, dan bentuknya. Ada layangan aduan dan hiasan. Sendaren yang dipasang di layangan berlomba berdengung. Menambah keasyikan bermain.
“Pegang layangannya, ayo cepat. Mumpung ada angin,” kata Joko. Agus memegang layangan. Joko mundur beberapa langkah. Ia segera menarik benang. Angin yang tadi berembus dengan keras, mendadak sepoi. Layang-layang mereka gagal lepas landas. Berkali Joko dan Agus berusaha menaikkan layangan, tapi gagal.
“Nih.” Joko menyerahkan layangan dan benangnya kepada Agus. Kulit kedua anak itu menghitam akibat kepanasan. Mereka bekerja sama menaikkan layang-layang. Selama musim kemarau, mereka selalu bermain sepulang sekolah. Tentu saja mereka kembali ke rumah terlebih dahulu. Makan siang dan berganti pakaian. “Aku putus asa. Kenapa layangannya tidak mau naik.”
Agus menekuk-nekuk dengan pelan kerangka layangan aduan mereka. “Sepertinya kita ganti saja tali gocinya. Mungkin kurang seimbang,” kata Agus.
“Ah tidak. Layangan kita sudah seimbang kok. Benar juga kamu tekuk tadi. Mungkin kurang melengkung. Ayo kita coba lagi.” Joko bersemangat lagi.
“Harusnya kita menang lho. Aku beli benang gelasan kemarin di Wak Amin,” kata Agus. Telunjuk mereka diberi plester agar tidak terluka. Benang gelasan merupakan benang yang sudah diberi serbuk kaca agar tajam. Tujuannya agar benang lawan dapat putus dengan mudah sehingga mereka menang mengadu adu layangan.
“Ayo kita naikkan layangan. Mumpung angin berembus dengan kuat,” kata Joko. “Kalau sekali ini tidak naik, aku pulang saja.” Entah berapa kali mereka mencoba, tapi gagal terus.
Tidak berapa lama. Perlahan layang-layang itu mengudara. “Hore… layang-layangnya naik.” Agus begitu gembira. “Adu dengan layangan putih itu.”
“Sebentar. Biar naik sedikit lagi.” Agus mengulurkan benang. Layang-layang berwarna aduan yang diberi ekor hitam menari dan meliuk di udara.
“Wah silau. Ayo diadu dengan layangan putih itu. Dekatkan, Ko,” kata Agus. “Kita harus menang. Katanya benang super ini.” Agus begitu bersemangat.
Layangan ditarik ke arah kanan oleh Joko, mendekati musuhnya, si layangan putih. Seolah mengejek, layangan itu menari-nari di atasnya. “Ayo, turunkan…turunkan…,” kata Agus. Dengan kuat Joko mengempaskan tali layangannya. Layangan merah menukik ke bawah. Talinya mengenai tali layangan putih. Layangan putih terkulai. Lepas dari talinya. Terjun bebas.
“Hore… kita menang,” teriak Joko. Ia mengayunkan tangannya ke arah Agus dan mengajaknya melakukan selebrasi. Tangan mereka beradu di udara. Mereka berjingkrak sambil menari-nari. Sejenak lupa jika sedang menaikkan layang-layang. Benang layangan mengendur. Tetiba ada layangan lain mendekat dan langsung menyambar layangan mereka. Tali layangan mereka berpaut di udara. Segera Joko menarik tali. Rupanya talinya kalah kuat. Gelasan lawan lebih unggul. Layangan merah terputus dari benangnya.
“Yaachhh… Putus….” Keduanya menghela napas. Baru saja layangan mereka menang, tidak lama kemudian malah putus. Joko dan Agus terkikik menyadari kesalahannya. Agus menggulung benang yang terkulai. “Kamu masih ada layangan?” tanya Agus. Joko menggeleng.
“Tapi aku ada uang untuk membelinya,” kata Joko. “Bagaimana kalau kita beli di Wak Amin?”
“Boleh juga,” kata Agus. “Ayo, sebelum kesorean.” Mereka berjalan beriringan menuju warung kelontong yang menjual layangan.
“Wah, bagus-bagus nih layangannya,” kata Joko. “Kita beli dua sekaligus. Buat persediaan.” Agus mengangguk. Berkali ia mengusap lehernya. Joko pun melihatnya. Akhirnya ia paham maksud sahabatnya itu. “Kamu haus?” Agus tersenyum malu.
“Boleh?” Agus memohon sambil mengedipkan mata. Joko terbahak-bahak melihatnya. Ia membuka lemari pendingin berisi minuman kemasan dan menyerahkannya pada Agus. Ia juga mengambil satu untuk dirinya. Keduanya berbincang seru.
“Ayo, nanti nggak kebagian angin lho. Keburu sore,” ajak Agus. Ia meminta Joko segera bergegas.
“Berapa harga dua gelas minuman ini, Wak?” Wak Amin menyebutkan harga. Joko merogoh kantongnya. Tetiba mukanya pucat. Ia hanya menemukan selembar lima ribuan. “Uangku.. uangku..”
“Ada apa, Ko?” tanya Agus.
“Uangku ada yang jatuh. Mungkin jatuh saat kita lompat-lompat di lapangan tadi.” Muka Joko memucat. “Uang ini hanya cukup untuk membayar minuman. Tidak dengan layangan.”
“Boleh kok kalian ambil layangannya. Bayarnya besok,” kata pemilik warung. Wak Amin memang sudah mengenal keduanya dengan baik.
“Tidak Wak. Tidak baik berutang,” kata Joko. “Bagaimana, Gus?”
Agus malah tertawa. “Ya sudah. Kita pulang saja. Besok lagi main layangannya. Gitu aja kok repot.” Keduanya tertawa terbahak. Melayangkan tangan ke udara, lalu menari-nari. Seperti yang dilakukan di lapangan tadi. Mereka tidak jadi mengadu layangan lagi. Wak Amin tertawa melihat kekompakan persahabatan Joko dan Agus.
Excellent) Good Article