Sumber:
Blyton, Enid. 2007. Anak dalam Cermin dan Cerita-cerita lain. Jakarta: Gramedia
Anak dalam Cermin
Ronnie mempunyai sifat yang aneh. Kalau teman-temannya datang ke rumahnya, Ronnie tak pernah membiarkan mereka bermain-main dengan mainannya.
“Apakah benar kau ini, Ronnie!” ucap ibu Ronnie pada suatu hari. “Bukankah kau ingin bermain-main dengan maian Harry kalau kau kebetulan sedang bermain di rumahnya? Juga kalau sedang di rumah Angela—kau ingin meminjam balok susunnya, bukan? Mengapa kau tak memperbolehkan teman-temanmu bermain dengan mainanmu?”
“Ah,” sahut Ronnie, “aku tak senang jika mainanku dipakai anak lain.”
“Mudah-mudahan saja kau tak berteman dengan anak yang seperti kau—tak mau meminjamkan mainannya kepadamu!” ujar Ibu pula. “Kalau tidak begitu, kau takkan tahu betapa buruknya sifatmu itu. Kita harus mau membagi apa yang kita miliki bila keadaan memungkinkan.”
Ada satu hal yang paling digemari Ronnie—ia sangat suka bercermin! Di kamar ibunya ada sebuah cermin berukuran sangat besar—tingginya sama dengan tinggi ruangan! Ronnie senang sekali berdiri di depannya sambil mengamat-amati segala sesuatu yang terpantul di situ.
Bukan dirinya sendiri yang diamat-amati anak itu, tetapi kamar lain di balik cermin itu. Kamar itu mirip benar dengan kamar ibunya. Meja rias, tempat tidur, jendela, dan pintunya sama dengan yang terdapat di kamar ibunya.
Bila pintu kamar itu dibuka, Ronnie melihat ada kamar anak-anak yang mirip dengan kamarnya sendiri. Tetapi, walaupun kelihatan mirip, rasanya sedikit berbeda. Betapa ingin Ronnie melihat kamar anak-anak yang Nampak sedikit di cermin itu.
Pada suatu hari angan-angan Ronnie terkabul! Ketika Ronnie sedang bersandar pada cermin kesayangannya, tiba-tiba cermin itu seperti terbuka dan Ronnie jatuh ke belakangnya! Ronnie sangat terkejut. Cepat ia berdiri sambil tertawa gembira.
“Nah, sekarang aku bisa melihat kamar anak-anak yang sering kulihat di belakang cermin!” ujarnya sambil berlari ke pintu menuju kamar anak-anak yang terlihat di cermin. Ronnie sudah berada di balik cermin sekarang. Hatinya berdebar-debar menantikan apa yang akan dilihatnya di kamar anak-anak itu.
Ternyata, kamar anak itu persis dengan kamarnya sendiri. Di situ terdapat sebuah lemari penuh berisi mainan, sebuah kuda goyang, dan sekotak balok susun. Di atas kursi, ada monyet-monyetan sedang duduk. Monyet itu mirip benar dengan monyet-monyetannya. Sedang di atas bangku, duduk sebuah boneka beruang.
Tetapi, meskipun sangat mirip dengan mainannya, kelihatannya mainan-mainan yang berada di situ agak berbeda. Ronnie ingin mencoba kuda goyangnnya—sama cepatkan gerakannya dengan kepunyaannya?
Ronnie beranjak hendak naik ke punggung kuda itu. Tetapi, tiba-tiba saja seorang anak berlari-lari masuk. Anak itu berwajah mirip sekali dengan Ronnie. Mereka betul-betul seperti anak kembar.
“Sedang apa kau di kamarku?” seru anak itu. “Pergi! Jangan naiki kuda goyangku!”
“Oh—kukira ini kudaku,” sahut Ronnie. Hatinya jengkel pada anak yang pelit itu. “Apa salahnya sih, kalau aku mencoba naik kudamu sekali saja?”
“Itu bukan kudamu. Itu kudaku!” seru anak tadi sambil menyeret Ronnie turun dari punggung kudanya. “Aku tak mau kudaku ditunggangi orang lain. Pergi kau!”
Betapa jahatnya anak ini, piker Ronnie. Ia tinggalkan kuda goyang tadi, dan pergi mendekati lemari mainan. Tampak olehnya ada sebuah lok kereta api bermesin putar di situ. Mirip dengan kepunyaannya. Ronnie ingin mencoba apakah lok kereta api yang inibisa berjalan mengelilingi kamar seperti kepunyaannya. Diputarnya kuncinya.
Tetapi, anak tadi merebutnya. “Jangan bermain dengan lok keretaku. Sudah kukatakan, aku tak senang mainanku dipakai orang lain.”
“Apa salahnya sih kalau dipinjam sebentar?” kata Ronnie marah. “Sikapmu sama sekali tidak sopan. Aku takkan merusak mainanmu.”
Kemudian Ronnie memegang boneka beruang dan menggendongnya. Ah, betapa mirip dengan boneka beruangnya sendiri! Lehernya pun berpita biru lusuh seperti boneka beruangnya.
Tetapi anak yang satu lagi tak suka melihat Ronnie membelai-belai boneka beruangnya. Ditariknya boneka itu. “Boneka beruangku tak suka digendong orang lain,” katanya. “Berikan dia kepadaku.”
“Oh, kau benar-benar lucu,” Ronnie berkata sambil mempertahankan boneka beruang yang sedang dipegangnya dari rebutan anak tadi. “Aku ingin menggendongnya.”
“Jangan,” cegah anak tadi sambil menarik boneka beruangnya dari tangan Ronnie dengan sekuat-kuatnya. Terdengar suara barang sobek—ternyata, sebuah kaki bone itu terlepas! Melihat hal ini anak tadi menjad marah dan menghentak-hentakkan kakinya seperti yang biasa dilakukan Ronnie.
“Oh, lihatlah! Dasar kau anak bandel! Kaulepaskan kaki boneka beruangku!”
“Bukan aku yang melepaskannya! Kau sendiri!” seru Ronnie. Hatinya sedih melihat boneka beruang yang kakinya tinggal satu itu. “Baiklah—gendonglah olehmu boneka beruang ini, kalau memang itu maumu. Aku akan melihat-lihat buku. Siapa tahu kau punya buku yang belum kumiliki di rumah.”
Ronnie meraih sebuah buku bergambar—tetapi anak tadi dengan segera merebutnya hingga dua buah halaman buku itu terlepas. “Jangan lihat bukuku. Oh, gara-gara kau dua halaman bukuku jadi terlepas.”
Ronnie marah sekali. Dipukulnya anak laki-laki itu. Sama marahnya, anak itu mengambil tongkat dan berlari mengejar Ronnie. Ronnie ketakutan dan segera berlari menjauhinya. Ia berlari ke luar, menuju ke kamar yang menyerupai kamar ibunya. Anak tadi masih mengejarnya dengan membawa tongkat sambil berteriak-teriak dengan marahnya.
Ronnie berlari ke cermin yang berkilau-kilauan di dinding. Ah, betapa inginnya ia menerobos cermin itu supaya cepat jauh dari anak yang pelit, egois, dan pemarah itu. Ronnie melompat ke arah cermin—dan, tiba-tiba saja Ronnie mendapatkan dirinya berada di kamar ibunya, sendirian.
Tepat pada saat itu ibunya masuk. Beliau melihat Ronnie mengacungkan tinjunya kepada anak laki-laki yang nampaknya berada di balik cermin. Smbil mengacungkan tinjunya, Ronnie berteriak-teriak marah.
“Ronnie! Mengapa kau berteriak-teriak begitu? Tak tahukah kau bahwa anak yang kaumarahi di cermin itu tak lain adalah dirimu sendiri?” ucap ibunya.
“Dia bukan aku,” sahut Ronnie. “Dia jahat dan pelit! Aku mengunjungi kamarnya melewati cermin ini, Bu—tapi dia tak memperbolehkanku memegang mainannya sama sekali. Naik kuda-kudaannya pun aku tak boleh!”
“Kalau begitu dia persis kau,” kata ibunya.
“Ketika lok kereta apinya kupegang, ia marah-marah dan merebutnya. Begitu juga ketika aku melihat-lihat bukunya dan menggendong boneka beruangnya,” tambah Ronnie.
“Ya, persis kau!” ujar Ibu sambil tertawa. “Bukankah ibu pernah mengatakan semoga kau bertemu dengan orang yang sifatnya seperti kau, Ronnie? Nah, sekarang kau tahu betapa jeleknya sifatmu. Kau bertemu dengan dirimu sendiri di cermin itu! Sukakah kau kepadanya?”
“Sungguh anak yang di cermin itu diriku sendiri?” tanya Ronnie.
“Wajahnya memang mirip denganku. Tapi aku tak suka kepadanya. Dia sama sekali tak mau meminjamkan barang yang dimilikinya.”
“Kau pun begitu kalau teman-temanmu datang ke sini!” kata Ibu Ronnie. “Hai, jangan menangis, Ronnie! Ibu kira kau baru bermimpi, Nak.”
Tapi, ternyata bukan mimpi! Sebab, ketika Ronnie masuk ke kamarnya sendiri, didapatinya boneka beruangnya berkaki tinggal satu. Di lantai ditemuinya sobekan buku yang dua lembar tadi. Aneh, bukan?
Bagaimana pendapatmu—apakah sejak saat itu Ronnie akan mau meminjamkan mainannya kepada teman-temannya yang datang ke rumahnya?
Assalamu ‘alaikum mas, demi menjalin silaturahmi sesama Blogger marilah kita saling bertukar link, gimana mas?? Salam kenal yah dari Dedhy Kasamuddin 😀
bagus ni om
susah sekarang nyari dongeng
🙂
cerita ini bagus, memberikan pesan agar mau berbagi.apa ada lagi cerita anak karya enid blyton yang lain?i like it