Ketika itu sekitar pukul 10 pagi. Saya ke teras rumah membawa seprai yang mau dijemur. Eh, nengok ke kanan melihat seorang bayi dengan sabuk pengaman duduk di kursi kemudi mobil. Tanpa berpikir macam-macam, tanpa berspekulasi macam-macam, secara spontan saya menyapa bayi itu dan dia pun tersenyum.
Ketika itu saya tidak tahu apakah di dekatnya ada orangtuanya atau tidak karena kursi tamu terhalang dinding.
Saya sapa lagi si bayi dan dia pun merespons dengan senyum. Lalu si Bapak sang bayi muncul. Tak begitu menggubris sapaan saya. Tak masalah, tapi sungguh kenapa saya jadi merasa bersalah sudah menyapa sang bayi, aneh. 🙄 Yang pasti dia bukan bayi sultan, boleh disapa 😆 seharusnya.
Rupanya si Bapak sedang mengambil barang bawaan di mobil lalu dibawa masuk ke dalam rumah. Mereka baru tiba dari rumah orangtuanya alias rumah kakek-nenek si bayi (mungkin). Si bayi masih anteng duduk di kemudi mobil dan terikat sabuk pengaman.
Si ibu sang bayi muncul, saya coba menyapa, responsnya cukup tipis juga. Duh, lagi-lagi saya malah jadi merasa bersalah. 🤦🏻♀️ Kudu kepiye dadi tanggo sing apik kuwi🤔.
Saya sadar betul, bayi itu tidak mungkin akan menjawab sapaan saya. Bayi akan menjawab sapaan dengan tersenyum, tertawa, atau malah menangis karena ketakutan.
Bayi itu tersenyum ketika saya sapa. Tapi, kedua orang tuanya sepertinya enggan untuk bertegur sapa. Ya sudahlah, tidak masalah bagi saya.
Akhir kisah, si bayi yang duduk di kursi kemudi mobil digendong sang ibu, dan tanpa basa basi mereka masuk rumah, cekrek, pintu dikunci, cerita selesai.
Bertetangga ala saya
Saat berpindah tempat tinggal, kita tidak bisa memilih ingin mempunyai tetangga seperti apa. Di tempat tinggal yang baru kita harus menyesuaikan dengan lingkungan dan tetangga di kanan-kiri dan tetangga depan rumah kita.
Sebisa mungkin saya berusaha menjadi “tetangga yang baik”. Tetapi, ternyata tidak mudah menjadi tetangga yang baik🙄. Seperti yang saya ceritakan di atas.
Apa yang menurut kita baik, misalnya basa basi menyapa sang anak untuk mencairkan suasana ternyata tidak demikian bagi oranglain. Tanpa bermaksud menjelekkan siapa pun, apa yang saya tulis ini sebagai nasihat untuk diri saya sendiri. Dan, apabila bermanfaat bagi pembaca, silakan diambil baiknya.
Sedikit tips bertetangga ala saya, ☺️ sesuai pengalaman yang saya dapatkan selama saya tinggal di beberapa lingkungan masyarakat (maklum pernah jadi kontraktor)🤭
Ketika tetangga kita “malas” bertegur sapa, itu bukan masalah kita. Jika kita hendak menyapa, sapa saja. Berterima atau tidak, bagaimana nanti.
Ketika tetangga kita “malas” bertegur sapa, anggap saja dia sedang sariawan atau sedang sakit leher 😚😆.
Ketika tetangga kita “malas” bertegur sapa, demi kenyamanan tetangga, tidak perlu menyapa dan hindari untuk bertatap muka.
Ketika tetangga kita “malas” bertegur sapa, abaikan saja. Mungkin saat tetangga lain melihat, akan menganggap kita sombong, biarkan saja. Kita dan Tuhan yang tahu kebenarannya.
Tidak semua tetangga malas bertegur sapa, ada banyak tetangga yang bersikap normal sebagaimana mestinya, saat bertemu. Saya bersyukur untuk itu.
Pada akhirnya, saya berusaha menyesuaikan dengan keadaan, saya berusaha menjadi tetangga yang “baik”. Saya berusaha menjadi manusia yang lebih baik setiap hari.
Tetangga saya unik-unik, sulit untuk diabaikan begitu saja. Saya ingin menuliskan setiap peristiwa yang terjadi, hasil pengamatan mata, dan pengalaman yang saya alami dalam tetangga. Semuanya saya tuliskan tanpa maksud menyudutkan siapa pun. Saya tuliskan sebagai nasihat diri untuk lebih “peka rasa” terhadap lingkungan sekitar, terkhusus tetangga dekat.
Catatan, 15 Oktober 2022