Cerita Rakyat dari Kalimantan Barat: Batu Menangis

Sumber:

kover-depan-smi

Rosa, Dea. 2007. Cerita Rakyat 33 Provinsi dari Aceh Sampai Papua. Yogyakarta: Indonesiatera

Batu Menangis

Bagaikan bulan yang elok, tubuh laksana pualam, rumput terurai seperti mayang… itulah umpama yang pantas untuk gadis cantik yang tinggal bersama ibunya yang sederhana di sebuah desa terpencil itu. Semua orang akan mengakuinya saat memandang gadis itu. Tak henti-hentinya ia merias dirinya. Cermin di dinding rumahnya tak jemu meski gadis nan elok itu terus memandanginya. Namun mereka terbius kecantikan itulah si gadis ini jadi angkuh dan malas. Ia tak sadar bahwa keelokan yang dikaruniakan Tuhan itu adalah berkah yang harus disyukuri dengan kerendahan hati.

Ibu gadis ini adalah ibu yang lembut, baik hati dan bijak. Ia dengan sabar menemani gadis ini. Ia hanya berharap suatu ketika anak gadisnya menyadari betapa keelokan parasnya tak ada guna apabila hatinya angkuh. Makin sedih juga sang ibu melihat anaknya yang cantik itu juga pemalas, dan kemauannya harus selalu dituruti meskipun kadang tidak masuk akal. Tetapi sang ibu terus berusaha menuruti apa yang dikehendaki anak gadisnya itu. Di dalam harinya ia berdoa, semoga Tuhan menolong dia menyadarkan anak gadisnya itu. Ibu itu tak punya daya untuk mengubahnya.

Suatu hari, seperti biasa gadis itu mengurung dirinya di dalam kamarnya. Ia tak mau matahari merusak kulitnya. Ia enggan debu-debu mengotori wajahnya. Ia tak suka orang-orang mencuri kemolekannya.

“Ibu…!”

Gadis itu memanggil ibunya dengan suara keras.

Sang ibu tergopoh menghampiri putrinya.

“Bukankah sudah berulang kali aku bilang bahwa setiap aku bangun ibu harus sudah menata kamar ini hingga rapi, menyediakan lulur dan air hangat, dan membuatkan minuman sari buah untukku…?” katanya keras dan marah.

Ibunya berusaha sabar, “Bukankah kamu sudah dewasa, anakku. Kau bisa mengerjakan sendiri semua itu.”

“Ibu tahu sendiri, aku sedang sibuk,” jawab gadis itu.

Sang ibu hanya mengelus dada. Hatinya gelisah. Kesibukan mempercantik diri, hanya itulah yang selalu dilakukan putrinya yang pemalas itu.

Suatu hari, sang ibu mencoba untuk membujuk anaknya agar mulai mengubah tabiat buruknya.

“Ibu sudah tua, dan jika ibu dipanggil oleh Tuhan maka Ibu tak khawatir lagi engkau bisa mengurusi dirimu sendiri,” kata ibunya.

“Aku tidak minta kamu jadi ibuku,” ketus sang gadis.

Ibu sungguh sedih mendengarnya.

“Baiklah, Anakku. Ibu hanya memohon agar kamu tidak mengurung diri di rumah. Kenalilah lingkunganmu agar ibu tenang jika suatu saat dipanggil Tuhan,” ujar itu dengan penuh kesabaran.

Hari makin berlalu. Akhirnya sang gadis mau menuruti kehendak ibunya. Ia tidak keberatan untuk ke mana pun bersama ibunya. Ke kepta, ke toko, ke rumah kerabat bahkan hingga belanja ke pasar. Tapi anaknya ini mengajukan syarat bahwa ibunya tak diperbolehkan mengakui di depan umum bahwa ia ibunya. Sebagai seorang ibu tentulah hatinya teriris mendengar itu.

“Oh Tuhan, mengapa untuk mengakui aku ibunya saja dia demikian malu? Mengapa anakku seangkuh itu, ya Tuhan…”

Orang-orang benar-benar tak percaya kedua perempuan itu adalah ibu dan anaknya. Penampilan keduanya alangkah berlawanan. Si putrid begitu mewah, sementara sang ibu teramat bersahaja. Bahkan sang ibu yang tua dengan pakaian yang kusam itu bagaikan seorang pembantu saja layaknya. Apalagi sang putri tak pernah mengizinkan berada di dekatnya. Jika berjalan, sang ibu harus berada di belakangnya.

“Apakah mungkin dia ibunya?”

“Ah mungkin saja bukan?”

“Tapi…”

Orang-orang berbisik-bisik mempergunjingkan hal itu setiap bebrtemu keduanya.

“Bukan! Dia budakku,” kata gadis itu.

Alangkah terlukanya sang ibu mendengar itu. Hatinya menangis dan ia benar-benar tak berdaya menahan sakit hatinya. Ia berbisik dan memohon kepada Tuhan.

“dengan cara apa Engkau menghukum anak yang sombong dan berhati busuk seperti ini ya Tuhan? Jika dia anak kecil, hambamu pasti mampu memahaminya. Tapi ia sudah dewasa dan memiliki akal. Sungguh hamba tidak bis amengerti,” rintihnya.

Tuhan selalu mendengar jeritan hati hambanya. Apapun yang dikehendaki Tuhan pastilah suatu kebaikan. Maka ketika ia menghukum gadis yang sombong itu, maka Tuhan pasti berkehendak baik untuk umatnya.

Suatu haru gadis itu tiba-tiba berubah menjadi batu karena hatinya yang congkak dank eras. Gadis itu menyadari kesalahannya, tapi terlambat karena hukuman telah menimpanya. Ia pun hanya bisa menangis. Hingga sekarang, batu itu dikenal sebagai “Batu Menangis”.

Visited 35 times, 1 visit(s) today

69 thoughts on “Cerita Rakyat dari Kalimantan Barat: Batu Menangis”

  1. Saya sbgai anak smp pontianak selatan bangga dg cerita ini terima kasih penuh ku terhadap pembuat cerita ini
    .sekali lg terimakasih banyak!

  2. uah…… gue makin salut sama bangsa ini…. intinya kita ngak boleh sambong. jadi orang ngak boleh durhaka doung!! ingat surga ada di telapak kaki ibu lhooo……
    sayonara…..
    PS: diperbanyak ya cerita rakyatnya, agar bangsa indonesia semakin mengenal budayanya sendiri..

  3. Mkch ats critanya,,(BATU MENANGIS) Smoga bisa membantu sya dlm mngrjakan tgas bahasa inggris……………..

  4. Mas, adakah e-book yang bisa di download mengenai cerita2 legenda ini?
    jika ada, dimana?
    saya tertarik untuk memiliki sebagai bahan bacaan anak anak saya…
    terima kasih… 🙂

  5. ini nih sarana pendidikan yang baik…bisa diambil banyak hikmahnya….banyakin dong cerita rakyatnya…request legenda dewi padi yang versi kerajannya kering kerontang terus sang putri berkorban biar turun hujan…

  6. aduhh ada” aja pertanyaannya …
    itu cerita menceritakan bahwa kita gk boleh DURHAKA pada orang tua kita apa lagi kepada ibu…

  7. Alhamdulillah, saat ini saya dan siswa saya sedang melaksanakan pembelajaran online. Referensi cerita rakyat ini sangat bermanfaat dan memudahkan saya dlm menyajikan pembelajaran Bahasa Indonesia. Trims.

  8. saya suka cerita ini
    suka…. sekali.. ^_^

    kebetulan saya ada tugas drama bahasa inggris, ada versi bahasa inggrisnya nggak??

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *