“Lihat ini,” kata Semut nomor sebelas (semut kan banyak, kau tahu, dan masing-masing punya nomor). “Lihat apa yang kutemukan!”
“Cuma sebutir jagung,” tukas Semut nomor tiga belas.
“Apa gunanya?”
“Kau bisa memakannya kalau mau. Bagi dua, tambahkan gula atau garam, baru kau makan. Mau coba?”
“Ya, jelas!”
Kedua Semut mengambil pisau dan akan membagi jagung itu ketika terdengar suara berseru, “Tunggu sebentar! Apa yang akan kalian lakukan?”
Ternyata Landak, yang datang dengan tampang sangat serius.
“Kami akan makan jagung,” jawab Semut-semut.
“Payah! Kalian tidak tahu kalian bisa dapat setongkol jagung dari butiran ini? Tanam di tanah, sirami, rawat, dan beberapa saat kemudian kalian akan memperoleh setongkol jagung berisi seratus atau dua ratus biji jagung!”
“Betul?”
“Tentu!”
Semut-semut saling berbisik beberapa saat, lalu kembali menghadapi Landak.
“Dengar,” ujar Semut nomor sebelas, “kami akan memberimu biji jagung ini dan kau yang akan menanamnya. Kalau tumbuh jagung, beri kami setengahnya. Sisanya buatmu. Bagaimana?”
Landak berpikir sejenak, kemudian menyetujuinya. “Baik! Masing-masing setengah! Setuju! Ayo salaman!”
Landak menanam butiran jagung itu, dengan hati-hati menaburkan tanah di atasnya, menyiraminya, dan melindunginya dari cahaya panas matahari dan embun. Setelah beberapa lama, muncul tunas. Dengan penasaran semua penghuni hutan datang melihatnya. Dan semua mengomentarinya.
“Wow!” seru Tikus, “Landak yang bekerja keras, tapi ia harus berbagi dengan para Semut, yang sama sekali tidak membantu!”
“Benar, tapi para Semut yang memberikan butiran jagungnya, dan tanpa butiran itu takkan ada batang jagung,” balas Tupai.
“Kaok! Kaok! Kuulangi, kaok! Takkan ada batang jagung!” teriak Gagak, sambil menggeleng.
Tapi Gagak salah, karena ketika waktunya tiba, muncullah setongkol jagung yang besar, gemuk, berambut halus, warna kremnya berubah jadi merah keemasan! Betapa hebohnya hutan!
“Kita bisa memakannya dengan susu!” Tikus Hitam mengusulkan.
“Tidak, digoreng!” bentak Kodok.
“Tidak, direbus!” desak Tikus Mondok.
“Tidak, mentah saja!” kata Berang-berang.
Sementara itu, sambil membawa pensil dan kertas, para Semut menghitung jumlah butirannya. Seratus tujuh puluh dua! Mereka bersalaman dengan Landak, kemudian mulai mengangkut jatah mereka yang sebanyak delapan puluh enam butir ke sarang.
Landak memutuskan memanggang jagungnya dan mengolesinya dengan madu yang dibawa Lebah-Lebah Bulu. Dan semua penghuni hutan jelas diundang ke acara makan-makan itu.
Api unggun dinyalakan, baranya memerah, dan sisa jagung, yang diolesi madu, dibolak-balik. Baunya membuat air liur menitik. Tenda pun didirikan, dan para penghuni hutan membawa minuman. Yang tidak membantu hanya Burung Gagak. Ia mengibas-ngibaskan sayap dengan tidak sabar.
“Kenapa kau?” tanya Kodok.
“Aku? Aku menunggu makanannya!”
Makanannya cukup untuk semua orang, dan jagung bakar madu itu enak dan garing sekali.
Tentu saja, semua ingin terus makan selama makanan masih tersedia, tapi nanti malam bisa-bisa ada yang sakit perut.
Dan itulah yang terjadi pada Tikus Mondok. Untung saja ia punya buah juniper matang di rumah, ini bisa mengobati sakit apa pun.
Sambil tergeletak di tempat tidur, menunggu sakit perutnya sembuh, Tikus Mondok mendengar suara bergemeresak di luar dan, ketika ia memandang keluar jendela, dengan diterangi cahaya bulan ia melihat para Semut mengangkut tongkol jagung raksasa itu, yang sudah gundul dan berwarna kelabu. Tikus Mondok bertanya pada mereka, “Hei! Akan kalian apakan itu?”
Dan Semut-semut, yang memang suka menimbun, menjawab, “Kita kan tak bisa memastikan, siapa tahu nanti ada gunanya. Biar kami pikirkan mau diapakan tongkol ini.”
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.