Hans Christian Andersen (lahir di Odense, Denmark bagian selatan, 2 April 1805 – meninggal di Rolighed dekat Kopenhagen, Denmark, 4 Agustus 1875 pada umur 70 tahun) adalah seorang penulis dan penyair berkebangsaan Denmark yang paling terkenal berkat karya dongengnya.
Kehidupan masa kecilnya
Andersen lahir di kawasan kumuh kota Odense, Denmark bagian selatan, pada 2 April 1805. Ayahnya, Hans Andersen adalah seorang pembuat sepatu yang miskin dan buta huruf yang merasa dirinya masih keturunan bangsawan. Sedangkan ibunya Anne Marie Andersdatter, bekerja sebagai buruh cuci.
Walau besar dalam lingkungan yang miskin, sejak kecil Hans Christian Andersen sudah mengenal berbagai cerita dongeng. Ia juga akrab dengan pertunjukkan sandiwara. Kendati tak mengenal bangku sekolah dan percaya takhayul, sang ibunya yang membuat H.C Andersen berkenalan dengan certa-cerita Rakyat.
Di kemudian hari, H.C. Andersen sempat melukiskan sosok sang Ibu dalam berbagai novelnya, misalnya dari cerita yang berjudul Hun Duede Ikke. Sayang Ibunya belakangan terjebak menjadi seorang pemabuk berat sebelum wafat pada 1833 di sebuah panti jompo.
Ayahnya seorang pencinta sastra. Lelaki itu kerap mengajak Hans menonton pertunjukkan sandiwara. Dalam otobiografinya, The True Story of My Life yang terbit pada tahun 1846, H.C. Andersen menulis, “Ayah memuaskan semua dahagaku. Ia seolah hidup hanya untukku. Setiap Minggu ia membuatkan gambar-gambar dan membacakan certa-cerita dongeng. hanya pada saat-saat seperti inilah aku melihat dia begitu riang, karena sesungguhnya ia tak pernah bahagia dalam kehidupannya sebagai seorang pengrajin sepatu”. Pada tahun 1816 ayah H.C Andersen meninggal.
Sikap dan pengalaman dari orang tua itulah yang membuah H.C. Andersen tertarik dengan dunia mainan, cerita, sandiwara termasuk karya William Shakespeare.
Masa-masa sulit
Setelah ayahnya meninggal. H.C. Andersen yang belum lama mengenyam pendidikan formal akhirnya bekerja serabutan di antaranya pernah bekerja di sebuah pabrik rokok, magang di sebuah penjahit dan bekerja sebagai penenun. Ia terpaksa memburuh untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Pada tahun 1819, ia pindah menuju ibu kota Denmark, Kopenhagen. Di sana ia berharap untuk menjadi seorang aktor, penyanyi atau penari. Tiga tahun di kota itu, ia menjalani kehidupan yang sulit.
Awalnya, Andersen sempat berhasil bergabung dengan Royal Theater. Tetapi ketika suaranya berubah karena masa pubertas, ia terpaksa meninggalkan panggung sandiwara. Andersen kemudian meninggalkan peran sebagai aktor dan penyanyi. Ia merasa lebih tepat dittunjuk sebagai penyair. Anderson mecoba menjadi seorang penulis sandiwara. tetapi sayang, semua karyanya ditolak dimana-mana.
Bertemu dengan Raja Denmark
Pada masa-masa sulit itulah dia bertemu dengan Raja Denmark, Frederik VI, yang tertarik dengan penampilan Hans muda. Raja Frederick kemudian mengirimkan Andersen untuk bersekolah. Berkat kebaikan raja, Andersen berkesempatan mengenyam pendidikan di sebuah sekolah bahasa di Slagelse dan Elsinore hingga 1927. Sebelum sekolah, ia sempat menerbitkan jilid pertama karyanya yang berjudul The Gost at Palnatoke’s Grave (1822).
Di bangku sekolah, Andersen termasuk siswa tertinggal, lagipula dia menjalaninya dengan setengah hati. Menurutnya, kurun masa sekolah adalah masa-masa gelap dan menyakitkan dalam hidupnya. Dia merasa sangat tidak nyaman berada ditengah para siswa yang berusia enam tahun lebih muda dari dirinya. Kepala sekolahnya yang bernama Meilsing, yang rumahnya sempat ditempati Andersen, menyebut karakter pemuda ini sangat sensitf dan sukar ditenggang.
Beruntung, setamat dari sekolah bahasa, Andersen melanjutkan studi ke Universitas Kopenhagen. Salah seorang direktur Royal Theater, Jonas Collin, mendesak dia untuk menjalani pendidikan sampai tamat dan dia pula yang membiayai. Sambil kuliah, pada tahun 1828 Hans Christian menulis kisah perjalanan yang berjudul Fodreise fra Holmens Kanal Til Ostpynten af Amager (Berjalan kaki dari Kanal Holmen ke Titik Timur Amager).
Kisah ini mendapat sambutan yang luar biasa. Andersen menggarap ceritanya dengan meminjam gaya penulisan E.T.A Hoffmann seorang pengarang roman asal Jerman. Sejak itu, puisinya yang berjudul “The Dying Child” diterbitkan oleh sebuah jurnal sastra di Kopenhagen. Pada tahun 1829, Royal Theater juga mementaskan drama musik karya Andersen.
Andersen juga menuangkan kisah pribadinya dalam kumpulan puisi berjudul “Phantasier og Skisser” pada saat jatuh cinta pada Riborg Voigt. Sayang, cintanya tidak bersambut, karena perempuan itu menikah dengan lelaki lain pada 1831. “Aku benar-benar ingin mati saja”, ujarnya kepada Edvard, anak laki-laki Jonas Collin. Saat itu secara tidak sadar ia menggemakan melankoli ala Goethe dalam “The Sorrows of young Werther”. Meskipun ia tidak pernah bertemu Goethe, penyair Jerman sekalipun Goethe masih hidup ketika Hans berkelana ke Jerman.
Berkelana
Hans Christian Andersen pergi berkelana ke luar negeri selain Jerman. Hingga 1833, Raja Frederick VI bersedia membiayai seluruh perjalanan Andersen ke Perancis, Swedia, Spanyol, Portugal, Italia bahkan hingga Timur Tengah.
Berbagai kunjungan itu melahirkan setumpuk kisah perjalanan. Ketika melawat ke Paris, Andersen bertemu dengan Victor Hugo, Alexandre Dumas, Heinrich Heine dan Balzac. Di tengah perjalanan panjang ini pula, ia sempat menyelesaikan penulisan “Agnette and the Merman”.
Pada awal 1835, novel pertama Andersen terbit dan meraih sukses besar. Sebagai novelis, ia membuat terobosan lewat The Imrpvisator, karya yang ditulisnya pada tahun yang sama. Cerita yang mengambil setting Italia inimencerminkan kisah hidupnya sendiri; melukiskan upaya seorang bocah miskin masuk ke dalam lingkungan pergaulan masyarakat. Malah sampai akhir hayatnya, buku The Improvisatore inilah yang paling banyak dibaca orang banyak dibandingkan dengan karya karya Andersen yang lain. Sejak buku ini terbit, masa masa sulit Andersen mulai berubah. Sepanjang 1835, ia meluncurkan tujuh cerita dongeng yang disusun jauh hari sebelumnya.
Novel dan karya-karyanya
Untuk menggenapkan karyanya, Andersen melahirkan karya-karya novel baru pada 1836 dan 1837. Disamping puluhan cerita dongeng yang terbit dalam kurun waktu tersebut, novel kedua, O.T dan Only A Fiddler. Ia juga berpolemik dengan filusuf Denmark terkemuka, Soren Aabye Kierkegaard.
Lewat buku berjudul Af En Endnu Levendes papirer yang terbit pada tahun 1838, filsuf Denmark tersebut mengkritik habis novel-novel Andersen. “Pergulatan hidup tak menyenangkan yang dialami Andersen kini terulang lewat karya-karyanya,” tulis kierkegaard.
Kritik itu segera dijawab Andersen lewat karyanya yang terbit pada 1840 yang berjudul En Comedie I det Gronne. Ia menyerang Kierkegaard dengan cerita yang menggambarkan betapa tidak praktisnya pemikiran sang filsuf tadi.
Kendati novel-novelnya mendapat sambutan besar, nama Hans Christian Andersen di dunia justru menjulang sebagai penulis dongeng anak-anak. Pada 1835, ia meluncurkan cerita anak-anak Tales for Children dalam bentuk buku saku berharga murah. Lalu kumpulan cerita bertajuk Fairy Tales and Story digarapnya dalam kurun 1836-1872.
Serial anak-anaknya yang kebanyakan terbit pada hari Natal itu tidak hanya kisah kisah yang dibuat olehnya. Andersen juga mengungkap kembali dongeng anak-anak yang kerap didengarnya semasa kecil. Sepanjang hayatnya ia menulis 156 cerita. Dari jumlah itu, 12 dongeng ditulisnya berdasarkan cerita rakyat Denmark. Selebihnya merupakan cerita khayali yang lahir dari buah pikirannya sendiri.
Dua dari cerita dongengnya yang amat kesohor, The Little Mermaid dan The Emperor’s New Clothes, diterbitkan dalam kumpulan cerita pada 1837. Tujuh dongengnya yang lain: Little Ugly Duckling, The Tinderbox, Little Claus and Big Claus, Princess and the Pea, The Snow Queen, The Nightingale dan The Steadfast Tin Soldier, juga dikenal di berbagai belahan dunia sebagai cerita yang kerap didongengkan pada anak-anak.
Lewat berbagai karyanya, Andersen dinilai menerobos pagar-pagar baku yang dianut pengarang Denmark pada masa itu. Baik gaya penceritaan maupun isi ceritanya berhasil memasukkan idiom-idiom dan bahasa lisan yang merupakan hal baru dalam dunia ‘kepengarangan’ negeri itu. Ia memasukkan pesan dan nilai moral dalam ceritanya tanpa menggurui sama sekali.
Bisa dilihat dari kisah dongeng The Emperor’s new Clothes. Pesan bahwa keserakahan itu tidak baik disampaikan Andersen lewat parodi raja lalim yang cukup menggelikan itu. Salah satu ciri lain yang menonjol dalam cerita dongeng Andersen adalah hadirnya kaum papa dan mereka yang tidak beruntung dalam hidup.
Dalam sebagian besar karyanya pun tampak optimismenya bahwa yang baik akan selalu menang dan meraih akhir yang bahagia. Kecuali kisah The little Mermaid dan The Little Match Girl yang berakhir dengan kesedihan. Dalam The Little Mermaid misalnya, Andersen berusaha mengungkapkan bahwa betapa keinginan meraih hal yang diimpikan ternyata berbuah nestapa.
Pengaruh karyanya di dunia kisah anak-anak
Tak bisa disangkal, cerita-cerita dongeng Andersen memang berisi pesan-pesan moral universal. Maka tidaklah mengherankan bila karya-karyanya itu kemudian diterjemahkan tak kurang ke dalam 147 bahasa di dunia. Buah tangannya pun tudak sebatas “pelajaran” untuk anak-anak melainkan dibaca oleh orang dewasa di seluruh dunia. Meski terjemahan karyanya baru muncul pertama kali dalam edisi bahasa Inggris pada 1846.
Bukan itu saja, H.C. Andersen disebut-sebut menanamkan banyak pengaruh kepada para penulis cerita lainnya di Eropa. Sebut saja Charles Dickens, pengarang Inggris yang terkenal dengan karya karya seperti A Christmas Carol in Prose, The Chimes, The Cricket on the Hearth, dan The Haunted Man and the Ghost’s Bargain. Juga pada pengarang Eropa lainnya seperti William Thackeray, Oscar Wilde dan C.S Lewis.
Dalam kurun 1840 hingga 1857, Andersen kembali melawat ke sejumlah egara Eropa, Turki, dan Afrika dan menuliskan kesan dalam buku-buku yang menuliskan kisah perjalanannya. Pada tahun 1855, Andersen menulis ulang memoarnya yang berjudul The Fairy Tale of My Life. Kisah hidup edisi ulang itulah yang hingga kini dinilai sebagai buku standar riwayat pendongeng legendaris ini.
Akhir hidup
Setelah berkelana lagi di Paris, Andersen jatuh sakit pada musim semi 1872. beberapa penyakit menggerogoti lelaki kurus ini. Selama tiga tahun terbaring tanpa daya di Rolighed dekat Kopenhagen, pengarang legendaris ini wafat pada 4 Agustus 1874. Ia dimakamkan dipemakaman khusus Kopenhagen.
Sepanjang hayatnya, H.C Andersen tidak pernah menikah. Patah hati mendalam rupanya dialami pengarang besar ini setelah cinta matinya kepada penyanyi opera berdarah Swedia, Jenny Lind, ternyata bertepuk sebelah tangan. Di peristirahatannya yang terakhir, H.C. Andersen hanya ditemani oleh guru sekaligus sahabatnya, Jonas Collin, yang dimakamkan bersebelahan dengannya.
Tamu yang tak tahu malu
Sepanjang hidupnya, Hans Christian Andersen ternyata tak pernah memiliki rumah. Sejak kecil hingga akhir hayatnya, ia selalu hidup di rumah para patron (tokoh masyarakat) yang kaya raya. Jika tidak, ia tinggal di kamar sewaan dengan perabot yang minim atau di hotel. Tetapi jika tidak sedang dalam perjalanan, ia pasti tinggal lama di rumah orang-orang yang cukup baik hati mengundangnya.
Tapi tidak semua tuan rumah bahagia dengan kunjungan Andersen. Pengarang ternama Inggris, Charles Dickens misalnya, akhirnya merasa terganggu oleh kehadiran Andersen di rumahnya. Andersen pertama kali berjumpa dengan Dickens ketika ia berkunjung ke Inggris pada tahun 1847. Keduanya saling mengagumi. Andersen menggambarkan, betapa bahagia dirinya ketika Dickens berkunjung ke penginapannya.
Sebenarnya tak jelas, seberapa dekat hubungan Dickens dengan Andersen ini. Tapi sebagian pengamat menyebut karakter Uriah Heep dalam David Coperfield, salah satu karya Dickens yang terbit empat tahun setelah pertemuan mereka berdua, ditulis Dickens berdasarkan karakter Andersen.
Ketika Andersen berkunjung ke Inggris, satu dasawarsa kemudian, Dickens tak sekedar menyambangi, ia malah mengundang Andersen tinggal di rumahnya. Menurut biografi Andersen yang ditulis Jackie Wullschlager, kunjungan di rumah Dickens ini jauh dari sukses.
Kala itu, Dickens dengan istrinya sedang dalam krisis perkawinan yang sungguh parah. Komunikasi mereka dengan Andersen pun tak terjalin baik. Maklum, suami-istri Dickens sama sekali tidak mengerti bahasa Denmark sedangkan bahasa Inggris Andersen jauh dari memadai. Hasilnya, keluarga Dickens segera menginginkan Andersen pergi.
Tapi, bukannya pergi, Andersen justru memperlama masa tinggalnya menjadi dua kali waktu yang diundang Dickens. “Kami benar-benar menderita karena Andersen,” tulis Dickens dalam surat kepada salah satu sahabatnya. Ketika Andersen akhirnya pergi, Dickens menancapkan catatan di pintu kamar yang didiami Andersen. Di situ tertulis “Hans Andersen tidur di kamar ini selama lima minggu. Tapi bagi kami rasanya berabad-abad.”
Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Hans_Christian_Andersen