Membaca kumpulan cerpen yang ditulis oleh Yohanes Budi ini seolah berjalan menyusuri lorong waktu. Betapa tidak, cerpen-cerpen ini merujuk pada kisah-kisah realis sejak 20 tahun yang lalu. Seperti sebuah dejavu, romansa kisahnya memberi ruang untuk nostalgia, sekaligus refleksi kehidupan sebagai anamnesis.
Sepakat dengan yang disampaikan oleh Ira Diana (Penulis “Haiku Embara Embun Mimpi”), dalam halaman “Kata Mereka”, berikut:
Perjalanan panjang kumpulan cerpen Yohanes Budi menjadi tanda pemaknaan hidup yang dalam. Setidaknya dalam kurun 20 tahun, Budi bisa memotret kehidupan yang membuat mata pembaca menyala, tertegun, bahkan berpikir. Ini bukan hanya sebuah buku kumpulan cerpen, ini adalah potret hidup. Di mana isinya bisa kita manifestasi menjadi nilai-nilai kehidupan yang arif.
Tampaknya, pengalaman hidup yang dialami oleh Yohanes Budi menjadi cerminan yang paling kuat yang merefleksikan cerpen-cerpen ini menjadi lebih bermakna. Ada bermacam rasa. Getaran-getaran kepahitan, kecemasan, keprihatinan, juga kebahagiaan dalam tokoh-tokoh yang ditampilkan dalam 17 ceritanya, menjadikan kisahnya semakin hidup dan berdaya juang.
PESAN EBOOK MENUA BERSAMA SENJA
Satu kisah menarik di cerpen berjudul “Televisi” adalah tentang pergulatan batin seorang suami, bernama Alkosim, yang merasa tersingkirkan perhatiannya oleh karena kehadiran sebuah televisi. Tayangan-tayangan di televisi seringkali menyita perhatian istrinya, Halimah. Beberapa kebiasaan yang sering dilakukannya dulu, hilang digantikan oleh acara-cara televisi yang menghipnotis Halimah. Beginilah Alkosim mengeluhkan pengaruh televisi pada istrinya.
“Apa kau tidak kasihan pada suamimu ini, Halimah. Sudah seminggu ini kau alpha membuatkan kopi untukku!” Suara Alkosim tiba-tiba menyerak. Tetapi sia-sia saja. Gerutu Alkosim segera hilang, beradu dengan suara-suara keras di televisi. “Sialan! Rupanya televisi itu sudah menjadi suami keduamu, Halimah!” Alkosim kembali mencoba mencuri perhatian isterinya.
Padahal, menurut Alkosim, kegaduhan di layar televisi membuat orang alpa untuk bermenung dan berefleksi. Pun demikian, orang cenderung asyik untuk menikmatinya sendiri, tanpa peduli pada orang lain di sekitarnya. Maka, Alkosim memberi tantangan kepada Halimah untuk mematikan televisi barang sejenak, lalu lihat apa yang akan terjadi.
“Halimah. Apa kau tidak merasa ada yang aneh malam ini. Maksudku, persis setelah kau matikan televisi itu. Ada banyak suara di sekitar kita yang tidak pernah kita dengar, mendadak telinga kita bisa mendengarnya. Bahkan seperti kau bilang, kau tahu kalau Kokom mendengkur saat tidur baru malam ini, bukan? Malah kau sampai menduga Kokom terkena amandel.”
Yohanes Budi tahu betul bagaimana menempatkan persoalan yang receh sebagai hal yang perlu diangkat menjadi persoalan bersama, dan menjadi perhatian khalayak. Televisi bukanlah lagi dianggap sebagai barang mewah, karena itu setiap keluarga wajar mempunyai televisi. Selain bermanfaat sebagai salah satu sumber informasi, tetapi, nyatanya televisi turut andil memberi dampak-dampak sosial yang dirasakan oleh keluarga. Kejelian inilah yang patut diapresiasi dari cerpen-cerpen yang ditulis Budi ini.
Tentu masih ada banyak kisah-kisah lain yang menawarkan cerita sekaligus makna di baliknya. Selamat membaca.
*) dejavu: kondisi ketika seseorang merasa sudah pernah mengalami sesuatu padahal belum pernah atau baru mengalaminya saat itu juga