Selasa malam (29/3) saya menemani si sulung, Kenan (7 th) belajar bahasa Mandarin. Sudah kebayang bukan, bagaimana puyeng-nya menulis dan membaca tulisan Mandarin. Permaklumannya, kesulitan itu ada di alasan klasik, karena tidak ada kebiasaan menulis, membaca, ataupun berbicara Bahasa Mandarin dalam keseharian. Intinya karena gak make dan gak (akan) kepake juga. Bahkan Kenan sering bilang, “aku mau omong (dalam) bahasa Indonesia saja.”
Tentu lain bagi para pecinta bahasa, atau poliglot (bisa bertutur banyak bahasa). Bahasa asing, bahkan yang menurut anggapan umum itu sulit seperti bahasa Korea, termasuk bahasa Mandarin, bahasa Rusia, dan lainnya justru bagi mereka adalah tantangan yang menarik dan memacu adrenalin.
Akhirnya, setelah gagal mencerna kata-kata Mandarin di buku cetak, saya meluncur ke Google Translate. Tesisnya sederhana: jika yang saya tuliskan di Google salah, tentu terjemahannya pun pasti salah. Maka, mulailah satu per satu saya ketik sesuai tugas yang diberikan guru. Jika benar, saya akan kepalkan kedua tangan sambil teriak: Yesss!
Sudah jam 20.30; Kenan belum berhasil juga membaca pinyin dengan benar. Padahal dia sudah beberapa kali memberi sinyal; capek dan “seolah” tidak tertarik; bahkan ia menguap berkali-kali.
Setengah dilema, antara meneruskan ataukah menghentikan dan memintanya pergi tidur. “Tokh, Laoshi (guru)-nya pasti bisa memaklumi jika masih ada salah-salah tulis atau ucap,” begitu yang sempat terlintas di pikiran.
Dan tampaknya Kenan pun sangat menunggu kata-kata yang melegakan, seperti: ya sudah pergilah tidur… Tapi, (maaf Ken) saya putuskan untuk lanjut..
Mulailah ubah strategi. Ingat filsuf Belanda Johan Huizinga (1938) yang bilang kalo kita adalah homo ludens, makhluk bermain. Maka, dengan lantang dan setengah bermain-main, saya baca kata demi kata sambil gunakan fasilitas translate by voice. Dan, apa yang terjadi. Betul sekali. Tidak semudah yang dibayangkan; kata-kata yang saya baca tidak berhasil terekam dengan benar di google. Akibatnya, artinya pun berbeda. Saya ulangi, salah lagi, begitu seterusnya berkali-kali.
Saya pun terus berupaya membaca dengan benar, agar Ken bisa membaca dengan benar pula. Sayangnya, dari sekian kali mengeja, paling hanya benar satu kali. Minimal saya tunjukkan pada Kenan bahwa saya tidak mudah menyerah. Begitulah filosofinya.
Kenan pun mulai tersenyum melihat kegagalan demi kegagalan yang saya lakukan. Raut wajahnya mulai cerah kembali. Bahkan ketika dilihatnya, mimik muka saya secara dramatik berupaya keras membaca tapi hasilnya masih salah; ia malah tertawa dengan kerasnya.
Saya coba lagi. Kali ini saya dengarkan dulu bagaimana Google mengucapkannya; baru saya tirukan, demikian seterusnya. Nyatanya, masih jauh dari kesempurnaan. Dan, Kenan makin tertawa riang melihatku bingung karena tak juga benar pengucapannya.
Hingga pada akhirnya, Kenan pun ikut mencoba membaca di Google Translate. Hasilnya: sama, masih salah juga. Kami pun tertawa bersama.
Tak sadar kami sudah “belajar” hampir satu jam. Kenan riang saya pun senang. Sebab, melihatnya senang saat belajar adalah hal yang jarang terjadi. Dan, ia pun tidur dalam kelegaan.
#homoludens #bermain #belajar #pinyin #mandarin #bahasamandarin #belajarmandarin
Ditulis oleh Yohanes Budi, Perajut Makna