Cici meletakkan tas kresek berisi jeruk di meja depan ibunya yang sedang menikmati tek manis hangat.
“Bu, Cici beli jeruk murah pada tukang buah keliling,” kata Cici.
“Oh, ya? Jangan-jangan rasanya tidak manis,” kata Ibu.
Kata penjualnya sih, ditanggung manis,” kata Cici seraya mengupas sebuah jeruk.
“Bah! Tukang buah pembohong!” pekik Cici setelah mencoba sejuring jeruk yang ternyata berasa asam.
“Kamu tadi tidak mencobanya?”
Cici menggeleng, “Cici percaya saja. Tukang buah yang itu biasanya tidak bohong,” jawab Cici.
“Mungkin tukang buah itu pun tak tahu, kalau jeruk yang dijualnya asam,” Ibu mencoba menghibur.
“Kalau begini kan jadi mubazir,” sungut Cici kesal.
“Maksudmu?”
“Kalau jeruk asam begini, kan tak bisa dimakan, akhirnya dibuang. Kan jadi mubazir,” kata Cici masih dengan nada kesal.
Ibunya tersenyum, “Ci, Tuhan menciptakan makhluknya tak ada yang sia-sia, semua bermanfaat. Begitu pula jeruk yang masam ini.”
“Bermanfaat buat tukang buah pembohong itu kan? Sebab dia tetap saja untung.”
“Sts… tidak baik berkata demikian. Jeruk itu bermanfaat buat kita juga kok.”
Cici mengeryitkan alis karena tidak mengerti maksud ibunya. Lalu Ibu Cici mengambil sebuah jeruk, dan dipotong-potongnya melintang. Salah satu potongannya diperas di atas minuman tehnya. Kemudian diaduk dengan sendok perlahan-lahan.
“Ih, Ibu norak. Ini kan bukan jeruk lemon, masa buat campuran teh manis?” komentar Cici.
“Coba saja,” kata Ibu sambil menyodorkan cangkir tehnya.
Cici meminumnya dengan ragu namun kemudian wajahnya berbinar.
“Wah, ternyata enak juga. Ada manis, asam, dan sepet.”
“Kalau kita cerdik, sesuatu yang tak bermanfaat, dapat menjadi bermanfaat, bahkan bisa jadi berharga,” kata Ibu sambil tersenyum.
“Cici senang sekali punya Ibu yang cerdik,” kata Cici seraya memeluk ibunya erat.
Sumber: Majalah Ino, 07 – 20 Februari 2007
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.