Kesal tidak jika melihat seorang anak, masuk ke rumah kita tanpa permisi, nyelonong begitu saja? Kalau saya kesal sekali, walaupun anak itu saya kenal. Dalam hati saya berucap, “Ini anak pasti tidak diajari tata krama sama orangtuanya.”
Fakta lain, sebuah keluarga (ayah, ibu, dan anaknya) bertamu ke rumah. Belum dipersilakan oleh yang punya rumah, si anak langsung aja mengambil makanan suguhan di meja, semua jenis makanan dicoba, padahal yang punya rumah belum mempersilakan. Saya yang melihat hal ini, sangat turut kesal juga. “Ini anak pasti tidak diajarkan tata krama oleh orangtuanya.”
Budaya tata krama lainnya yang sering diabaikan anak, misalnya meminta maaf saat berbuat salah, mengucapkan terima kasih saat diberi barang, mengembalikan barang yang dipinjam, meminta izin saat menggunakan barang milik orang lain, dan masih banyak lagi. Perkembangan karakter anak tergantung orangtuanya, jadi ketika seorang anak berbuat tidak sopan, bukan salah anak.
Pendidikan karakter anak, tata krama salah satunya, dimulai dari orang-orang terdekat anak yaitu ayah, ibu, kakak, nenek, kakek, dan lainnya, dalam keluarga. Ketika pendidikan karakter itu tidak diterima anak dalam keluarganya, anak akan berperilaku jauh dari tata krama atau sopan santun.
Tidak seperti ilmu matematika, fisika, dan bahasa yang bisa dipelajari dalam satu waktu, tata krama harus dibiasakan, tidak bisa dipelajari dalam waktu singkat. Hasil dari ujian matematika bisa dijelaskan dengan angka 1-10. Hasil pendidikan karakter (tata krama) bisa dilihat sepanjang hidup bahkan akan dilanjutkan pada generasi selanjutnya.
Keluarga adalah ujung tombak pendidikan tata krama. Ayah dan ibu sebagai orang yang paling dekat dengan anak, adalah contoh bagi anak. Apa yang dilakukan orangtua akan ditiru oleh anak, tanpa disuruh sekali pun. Jadi, tata krama selain diajarkan pada anak, yang paling utama adalah juga dilakukan orangtua dan anggota keluarga lain yang tinggal di rumah. Mengajarkan tata krama tidak dengan dengan dihafal, tetapi dipraktikkan. Ketika anak tidak melakukan tata krama yang diajarkan, orangtua harus mengingatkan. Anak tidak melakukan lagi, orangtua mengingatkan lagi, begitu seterusnya.
Yang saya ungkapkan di atas, sejalan dengan pernyataan Sheryl Eberly dan Caroline Eberly dalam bukunya 356 Tata Krama yang Perlu Diketahui Anak.
“Segera setelah seorang anak lahir ke dunia, orangtua mulai mengajarkan tata krama lewat serangkaian teladan. Anak kita mungkin melakukan apa yang kita perintahkan, tetapi dia lebih cenderung meniru apa yang kita lakukan. Biasanya orangtua akan terkejut setelah keburukan tata krama mereka juga muncul pada anak mereka. Suka atau tidak, pembelajaran biasanya terjadi dalam keluarga melalui peniruan” (hlm. 1-2).
Sheryl Eberly dan Caroline Eberly menyebutkan ciri seorang anak usia tiga tahun mengetahui tata krama, yaitu
- memandang lawan bicara saat diajak bercakap-cakap.
- menyapa dan menegur orang lain.
- mencuci tangan sebelum dan sesudah makan.
- duduk tenang saat makan.
- menggunakan peralatan makan.
- mengatakan “tolong” dan “terima kasih”.
Saya pun masih harus belajar lebih baik lagi menjadi orangtua. Ada kalanya saya pun lupa berucap “terima kasih” saat anak saya menolong saya mengambil barang, saya tidak meminta maaf ketika merusak bangunan lego yang sudah disusunnya, dan masih banyak lagi. Tidak ada kata terlambat untuk sebuah perubahan baik untuk anak kita. Lihat anak-anak kita, pasti dia melakukan apa yang juga kita lakukan. Kita marah dan berteriak pada anak, suatu waktu anak kita pun melakukan hal yang sama pada kita atau pada orang lain.
Anak adalah cermin perilaku orangtuanya. (Paskalina Askalin)